Tulisan Bebas

Catatan KKN di Sukabumi

oleh miftahul khoer

Jam menunjukan pukul 13.30. Cuaca masih terasa dingin. Desa Tangsel sepi. Tak banyak warga yang keluar. mereka pada sibuk bekerja sebagai buruh disebuah perusahaan sayuran. Disaat yang sama sepuluh mahasiswa UIN SGD Bandung terlihat berbondong-bondong menyusuri jalan yang terjal dan berbatu. Wajah mereka berkeringat, sesekali menghirup nafas sambil menikmati indahnya pemandangan kampung.

Ada hal yang menarik dari kedatangan anak-anak Bandung ini. Tak lain dan tak bukan untuk melaksanakan sebuah mata kuliah yang sebenarnya tak terlalu penting namun memakan biaya yang cukup menguras saku. Sekitar 1200 anak asuh Nanat Fatah Natsir ini mengabdi di seluruh desa yang ada di Sukabumi. Termasuk kelompok 004 yang mempunyai cerita dan kisah unik tersendiri.

Sebut saja Agus Nasir, pria kelahiran Tasikmalaya 22 tahun silam ini ditunjuk sebagai ketua kelompok KKN 004. Awalnya semua anggota terlihat pada jaim ketika pertemuan pertama yang bertempat di SUAKA, namun lama kelamaan hal itu hilang dengan sendirinya. Rupanya orang-orangnya pada asyik, suka bercanda sampai ada yang sudah menikah segala (hahaha…….. gak penting dech).

Walapun kelelahan akibat terjalnya jalur lokasi yang harus diobservasi, namun anak-anak kelompok 004 terlihat asyik menikmati pemandangan perkebunan, ditambah ada dua orang guide penunjuk jalan yang cukup baik dan bersemangat, ibu Ai namanya. Ia seorang Janda beranak satu. Suaminya meninggal karena sakit. Ia adalah perempuan yang murah senyum sekaligus yang memberi tumpangan rumah. Pokoknya Ibu Ai top banget dech.

12 Februari 2009 (15:30)

Tiba-tiba seorang bocah naik keatas truk. Tubuhnya kumal, tak bearalaskan kaki. Ia menggendong sebuah tas, berkaos biru belel dan memakai celana seragam SD. Namanya SuRohman, ia berumur 12 tahun, mukanya kecoklat-coklatan, raut wajahnya terlihat letih.

ia usai pulang dari sekolah. Setiap hari SuRohman harus berjalan. Jarak rumah menuju sekolahnya cukup membuat pegal kaki dan seluruh tubuhnya. Kira-kira dua kilo meter ia harus bolak-balik dan turun naik jalan yang terjal itu. SuRohman dibekali Seribu rupiah setiap hari oleh orang tuanya. Ia sekolah di SD Margawangi.

“unggal poe mapai-mapai lembur weh.” ucap SuRohman sembari menunjukan jalan yang penuh kerikil dan bebatuan.

Siang itu, Agus dan Saya berdiri bersama SuRohman, di belakang truk pengangkut sayur yang hendak menuju Tangsel. truk itu akan mengangkut sayuran yang telah siap dipasarkan ke pasar dan Supermarket.

Sementara Nurul dan Nasir agak nyaman duduk didepan, dekat supir. Sesekali Saya dan Agus harus membungkukkan kepala, karena pepohonannya sering membentur kepala saat mobil melewati rimbunan pohon disisi-sisi jalan.

“untung aya mobil euy” ucap Saya pada Agus tersenyum senang. Ditambah anggukan Agus mengamini. Mereka usai berkunjung sambil observasi dari kelompok 005 dan 006. Cukup melelahkan dan benar-benar membuat pegal kaki. Jarak lokasi posko kelompok 004 menuju kelompok 006 kira-kira lima kilo meter. Untungnya ada tumpangan gratis–mobil truk pengangkut sayuran.

Tangsel adalah sebuah kampung yang berada di desa Sukamaju kecamatan Sukalarang. Daerah penghasil sayuran yang cukup produktif di kabupaten Sukabumi. Desa yang lumayan erotis dan membuat kulit mengkerut kedinginan.

13 Februari 2009 (08:30)

Hujan gerimis dipagi hari. Warga Tangsel sibuk kerja bakti memangkas rerumputan di sekitar jalan. Anak-anak kelompok 004 dengan semangat membantu warga sekitar. Beberapa peralatan seperti golok, parang dan cangkul telah sigap ditangan mereka. Saya, Agus, Nasir dan Rohman mengenakan celana pendek membantu warga.

“ieu daun hanjuang, ayeunamah geus teu laku.” Ucap sorang warga pada saya sambil membabad habis pohon yang menghalangi jalan Tangsel.

Memang, dulu banyak orang Sukabumi yang sengaja membeli pohon hanjuang. Satu batang dihargai 5000 rupiah. Itu juga tangkai pohon yang besar, sama besarnya dengan pergelangan tangan orang dewasa. Tangkainyapun harus bercabang dua, mirip ketapel.

“Tah, jang nu laku mah anu cagak dua kapungkurmah, ayeunamah nu laku teh nu laleutik.” Tambahnya seraya memegang parang. Kami melanjutkan kerja sambil bertanya-tanya seperlunya sebagai tanda mengakrabkan diri.

Jalan mulai sedikit rapih. Rumput dan pepohonan yang menghalangi jalan sudah dibabat habis. Matahari sedikit muncul menyinari. Wajah dan tubuh kami mulai basah dan berkeringat. Sesekali kami mengusap dengan lengan baju.

Jam melaju pelan. Waktunya mandi dan bergegas sholat Jum’at. Kami pamit pada pak Umin. Agus, Anas dan Rohman duluan meninggalkan lokasi jalan yang di perbaiki. Saya sedikit ngobrol dengan pak Umin tentang keberadaan sosialisa Buku geratis Mahir & cepat menguasai Microsoft Office 2007 (Word,Excel,PowerPoint,Acces) tebal 423 halaman. segera dapatkan hanya di http://bukugeratis.4shared.comsi lurah dan caleg di sini. Dan selanjutnya saya pamit pulang. Pak Umin mengiyakan. “mangga.” Pak Umin adalah ketua RT 04.

14 Februari 2009

Jam menunjukan pukul 05:30. Posko KKN sepi. Anak-anak masih tidur. Biasanya mereka bangun pagi sekali. Agus tetap orang yang paling pagi bangun, tak lupa ia mandi meski air sangat dingin sekali. Tapi rupanya agus mulai terbiasa dengan air dingin itu.

Brrrrrr… bibirnya mengeluarkan suara. Menandakan gemetar kedinginan. Agus ganti baju lalu sholat. Sejurus kemudian, ia menggulingkan badannya ke tempat tidur. Kasur tipis namun membuat Agus nyenyak. Ia bisa bangun agak siang jika sudah mandi subuh.

21 Februari 2008 (13:00) Di Bandung

Ponselku berdering. Sebuah ringtone berbunyi ROBO N1X bordering agak pelan, volumenya 4. Nijma, temen sekelompok KKNku meluncurkan sebuah SMS. 3530 tipe Handphoneku. Warnanya biru. Saya suka sekali.

“Mik, didepan wartel UIN aja ya…” tulisnya.

Hari cukup gelap. Hujan turun pelan. Gerimis. Saya berjalan dari rumah menuju kampus. Jaket kulit hitam tak lupa saya pakai. Jaket yang hangat milik kakak saya, tapi lebih sering dikenakan saya. Kaki terus menyusuri jalan Cipadung, menunggu ojek agar lebih cepat menuju kampus, namun sayang ojek terlihat sibuk sama penumpangnya.

Ojek tidak ada yang kosong. saya terpaksa menunggu lebih lama. Tiba-tiba datang teman saya, namanya Ciwok, dia pengusaha printing yang diberi nama print plus. Ciwok menghampiri saya dengan menawarkan tumpangan. Saya senang dapat tumpangan gratis. Lumayan ngirit ongkos. Dan tak jadi naik ojek. Saya akan kembali ke Sukabumi. Mengerjakan beberapa program KKN yang belum terlaksana.

“Rek kahandap?” tanyanya

“ngiring ah?” jawabku sambil naik motornya dan dianter sampai tokonya, print plus.

Nijma tengah menunggu di depan bank BNI Kampus UIN. Baju warna cokelat dikenakannya. Hujan bertambah deras, kami menyudut mencari tempat aman dari air hujan. Ransel besar digendong Nijma, begitu juga saya. Tak terlalu banyak barang yang dibawa, sejenis pakain, flash disk dan sebuah kaset kosong untuk liputan. Namun recorder tak saya bawa, sepertinya Suaka lebih membutuhkan untuk keperluan liputan di kampus.

Sebenarnya sudah seminggu saya berada di Bandung. Ada alasan yang harus diselesaikan dengan urusan perkuliahan di kampus. Meminta ijin dan memberi keterangan pada setiap dosen saya. Pun dengan urusan Suaka, sekedar memberi semangat pada teman-teman dengan kepergian saya ke Sukabumi. Dan yang paling penting, mengambil jatah bantuan dana dari Depag. Lumayan buat nambah jajan di lokasi KKN.

Syukur mereka mengerti, mudah-mudahan mereka lebih mandiri dengan tidak adanya saya, walau sebenarnya tak sedikitpun yang saya berikan pada mereka. Let’s go Suaka!!

Hujan masih deras. Nijma dan saya memutuskan agar tetap pergi. Dengan langkah agak cepat kami menghampiri halte bus Damri Cibiru menuju terminal Leuwi panjang. Saya mengenakan sandal dan jeans. Percikan tanah akibat hujan sedikit membasahi dan mengotori celana.

Sandal ini milik ajeng. Pastinya dia kerepotan sandalnya saya pakai ke Bandung beberapa hari yang lalu. Ajeng tidak ada di Tangsel, ia pulang ke garut menemui suaminya, ia baru nikah beberapa hari yang lalu. Mungkin ia akan melepas rindu.

Tangsel Sukabumi 17:30

Hujan begitu deras saat kami memasuki kawasan Padalarang. Air menyeruak keatas jalan raya. Beberapa kendaraan mobil, motor dan bus terlihat hati-hati mengemudikannya. Lampu depan tak lupa mereka nyalakan. Termasuk bus yang kami tumpangi. Bus MGI warna biru tua. Bus yang nyaman.

Pangkalan ojek Tangsel di depan mata. Kami naik motor para ojek itu, namun hujan tak begitu deras. Sekedar gerimis tapi turun dengan cepat. Jaket kulit mulai basah. Di tengah jalan yang terjal itu Kami bertemu Nurul, dia baru ngedate sama pacarnya, katanya sih dia ABRI. Perawakannya agak kurus namun tetap tinggi. Rambutnya cepak. Tak jauh beda dengan style aparat lainnya. dia sudah dua hari nginep di posko, motornya disimpan di dapur jika sudah malam. Para pemuda sepertinya tak suka kedatangan ABRI itu, termasuk Hasan.

“mun tiasamah cariosan si aa eta” kata seorang pemuda Tangsel yang tinggi ini. Yang bermaksud pada si ABRI. Hasan tidak menghendaki kedatangannya. Makanya menyuruh kami agar bicara pada ABRI itu jika ia terus menginap. “bilih picarioseun.” Tambah Hasan malam itu. Agus, Anas dan saya manggut-manggut mengiyakan.

sejurus kemudian kami bertiga melahap habis nasi liwet yang sejak tadi dimasak para pemuda Tangsel. Pak RT juga ikut nimbrung. Kecuali Rohman, ia tidur pulas, juga si ABRI, tengah tidur nyenyak dikasur. Saya tidur jam tiga pagi, maklum belajar bikin video dulu di pinnacle yang saya beli di DPR kampus.

22 Februari 2009

Hari ini minggu. Matahari begitu bangga menyinari bumi ini. Sinarnya seakan memberi senyuman pada desa yang kami naungi. Tangsel. Sekaligus tempat kami mengabdi.

Saya belum mandi. Anak-anak kecil sudah setia menunggu di teras depan. Sedikit Deva menyapa.

“rek ka pemancar ayeuna.’’ Tanyanya semangat ditemani gerombolannya. Saya mengangguk mengiyakan. “rada beurangan Va.” Jawabku sederhana. Deva adalah salah satu murid yang kami asuh. Dia anak dari bos tomat. Sesekali Deva mengirim tomat pada kami.

Jadwal hari ini adalah jalan-jalan bersama anak-anak sambil refreshing. yang dituju yaitu sebuah tempat paling paforit di desa Tangsel ini. Pemancar. Ya, sebuah pemancar stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan tempat yang indah. Sebelumnya kelompok kami pernah melihat pemancar dari kejauhan.

Banyak penduduk sekitar yang sengaja datang ke pemancar. Di luar kota juga tak sedikit yang berkunjung

“seueur namah ti Bogor a.” kata seorang tukang ojek.

Pemancar berada di tengah-tengah perkebunan teh. Selain itu terdapat pula tanaman sayuran yang di garap penduduk di sini. Wortel. Kol. Jagung sayur. Pekcay. Semuanya tampak mekar dan siap panen. Lidah saya kaku membayangkan sayuran itu jika seandainya sudah di depan mata dan masak. Hmm… lezaat.

Jalan-jalan adalah salah satu program yang kami canangkan. Tujuannya memberikan pembelajaran bagi masyarakat sekitar di alam terbuka. Anak-anak begitu menikmati perjalanan ini. Buktinya mereka tampak apresiatif dengan program outbond ini.

Jarum jam menunjukan sekitar pukul sepuluh. Puluhan anak sudah siap menunggu di posko. Juga ada yang tak sabar mengajak kami berangkat. Mereka gerombolan anak lelaki. Deva cs dengan sigap penuh gaya. Sepatu dan jaket membungkus badan ditambah ransel berisi makanan. Mirip petualangan si bolang. Kaya di TV TV. Deva kelas tiga SD.

Lets’ go. Posko kami tutup sementara. Kunci dititip ke teh Ai. Kami berbondong-bondong dan perlahan jalan kaki menuju pemancar. Di sekitar, para warga menyapa dengan ramah. Wajah mereka penuh senyum. Terlihat ada yang sedang mencari kutu di teras rumahnya. Biasa, orang-orang kampung suka mencari kutu satu sama lain. Ini dilakukan secara giliran.

“bade ka pemancar a?” tanyanya.

“muhun ibu, hayu atuh ngiring.” Jawab saya dibubuhi seyum lembut sebagai tanda ramah.

“mangga..mangga.” kata mereka dengan membalas senyum sunda.

Ada hal yang membuat kami sedikit gembira. Rupanya kami dapat tumpangan gratis dari warga. Sebuah truk pengangkut sayuran yang rela mengantar kami ketempat tujuan. Kebetulan truk itu akan mengangkut hasil sayuran yang lokasinya berdekatan dengan pemancar. Truk itu berwarna kuning. Bertuliskan Rizki Sayur di kaca depan. Rizki Sayur adalah salah satu perusahaan penampung sayur di Tangsel. Nama Rizki diambil dari salah satu anaknya. Pak Jujun nama pemiliknya.

Jalan tetap terjal dan bebatuan. Sesekali terlihat lengkungan jalan yang mulai cekung akibat dilindasi mobil-mobil pengangkut sayuran. Tak jarang mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan. Tak jarang pula anak-anak sedikit teriak dan menjerit pelan dengan kondisi jalan saat mobil bergoyang tepat di lokasi cekung.

Medan jalan naik dan berbelok. Namun anak-anak begitu riang sambil bernyanyi naik naik ke puncak gunung. Sesekali mereka menyanyikan lagu bajingan yang di lantunkan wali band. Wajah mereka berseri dan polos. Anas dan kru ikut bernyanyi mendampingi mereka. Namun, Alin, Ajeng dan Ani tak hadir. Masing-masing, mereka punya keperluan. Saya duduk di depan dengan supir sambil membakar rokok dan mengepulkan kearah jendela. Sedikit kami mengobrol tentang sayuran.

Pemandangan sangat indah. Kami berada di dataran tinggi. Semua terlihat tanpa batas. Ini benar-benar anugerah yang harus di syukuri.

“wah indah nya mang.”

“komo upami wengi a, harurung ninggali ka kota teh.” Kata supir sambil memperagakan matanya yang menunjuk ke bawah. Kami di puncak. Sebentar lagi sampai di pemancar. Di belakang, anak-anak masih seru, bernyanyi dan berteriak. Di pinggir, berjejer pohon teh. Semua hijau. Mata tak jemu memandang. Udara segar di hidung. Beda sekali dengan udara Bandung. Tapi hari ini petani tak kelihatan.

“minggu mah libur a.”

“Ooooh…” saya mengangguk. Namun sesekali terlihat petani yang mengangkut sayuran dengan motor, sambil mengambil arah ke sisi karena jalan cukup untuk satu mobil. Sebagian besar warga Tangsel hidup bertani. Ada juga yang berburuh pada perusahaan sayuran yang ada di desa ini.

Pemancar sudah sampai. Kami semua turun dari truk. Terlihat para pemuda penduduk sekitar yang kongko-kongko sambil bermain gitar. Ada juga yang sengaja membawa catur ke tempat ini. Di depan pemandangan sangat luas. Masih di penuhi pepohonan teh yang tak menghabiskan mata memandang. Anak-anak berlarian kegirangan.

Sebuah tower pemancar berdiri tegak menantang langit. Disampingnya terdapat sebuah rumah yang gaduh dengan suara mesin diesel. Berisik. Rumah ini di huni oleh sebuah keluarga. Mereka bertugas sebagai penjaga pemancar ini. Rumah yang cukup luas. Saya dan Agus sempat masuk kedalam rumah itu. Ikut buang air.

Halamannya lumayan luas. Ada gerbang dan sebuah pos penjaga tua. Sepertinya sudah tidak dipakai lagi. Banyak coretan yang kotor di dinding pos itu. Sementara di tembok rumah terlihat terlihat sebuah keputusan resmi yang di tandatangani menteri penerangan Harmoko dari sebah keramik pada Tahun 1983. Ini berarti pemancar dan rumah ini sudah berdiri 26 tahun.

Nurul mengajak anak-anak bermain. Membuat suatu lingkaran dan bernyanyi riang. Anak-anak sumringah menjalaninya. Agus mencuri foto. Jepret sana jepret sini memotret anak-anak yang bermain. Rohman duduk di pinggir, di bawah pohon yang rindang.

Tak lama kami di pemancar. Sekedar melepas penat di posko sambil mengajak cara belajar yang lebih segar. Kami langsung berlari ke kebun teh. Bergaya seunik mungkin. Berfoto bersama. Gaya-gaya narsis terlihat tanpa peduli. Mereka senang.

Para pemuda sekitar tetap duduk-duduk dan bernyanyi. Kami memutuskan pulang ke Tangsel karena siang sudah menyengat. Anak-anak tak hilang semangat. Mereka berlarian menyusuri kebun teh. Isor berjalan pelan sambil bercakap-cakap dengan segenggam handphonenya. Jalanan turun. Ada sedikit tanah yang licin.

Di tengah jalan kami bertemu dengan kelompok 006. Rupanya Mereka hendak ke pemancar juga. Sejenak kami ngobrol dengan mereka. Terlihat si ibu pemilik rumah yang didiami kelompok 006 ikut pula. Dan putrinya yang eksotis itu juga hadir saat itu. Namanya Wulan. Katanya dia masih sekolah kelas dua SMK. Temen-temen kelompok 006 pada naksir padannya. Sesekali mereka mengantar dan menjemput Wulan kesekolah.

23 Februari 2009

Di dapur, teman-teman sedang masak. Aromanya menghentak hidung saat saya berada di kamar mandi. Jaraknya bersampingan antara dapur dan kamar mandi. Hari ini Nurul, Nijma dan Isor memasak mie goreng campur sosin. Tak lupa makanan wajib di hidangkan. Sambel goreng dan krupuk sebagai penambah citarasa masakan.

Ketiga perempuan ini pintar masak. Saya selalu ketagihan mencicipi masakannya. Di kamar mandi, saya bergegas keruangan tengah, ikut nimbrung menikmati sarapan pagi. Menu hari ini sangat sederhana. Namun nikmat kebersamaan tak pernah hilang dari kami.

Beberapa potong mentimun yang diiris Nijma menambah maknyus sarapan pagi ini. Ajeng, Alin dan Ani belum kembali ke Tangsel. Seperti biasa saya selalu mengambil nasi lebih dari sekali. Sambel pun tak ketinggalan diciduk menemani mie goreng yang gurih itu. Top markotop banget pagi ini.

Sebatang rokok Djarum Super saya bakar lalu mengepulkannya ke udara. Agus melakukan hal yang sama seperti saya. Menyalakan rokok dengan sebuah zippo miliknya. Warnanya kuning keemasan. Tapi zippo ini tak bersuara seperti kebanyakan zippo lainnya. Biasanya sebuah zippo bersuara ‘cring’ jika hendak dinyalakan.

Saya dan Agus menikmati keindahan tangsel ini. Di ruang tamu, sebuah meja dan tiga sofa mengiringi nuansa yang sejuk dan dingin pagi ini. Rokok tak hentinya kami kepulkan. Sejurus kemudian Anas dan Rohman menghampiri. Mereka berdua tak suka merokok.

Hari ini Agus menugaskan Saya dan Rohman menyebarkan proposal kegiatan. Untuk kendaraannya kami dikasih pinjaman sama kelompok 006.

“Jam satengah salapan nya arinditna.” Ucap Agus.

“Kalem ngaroko heula euy, kagok.” Jawabku.

Sementara, Isor tampak segar pagi ini. Ia berdandan tak seperti biasanya. Hari ini ia mesti pergi ke Bogor mendatangi saudaranya yang mau hajatan. Di ruang tengah, Nijma duduk sambil mengalungkan handuknya. Nijma menunggu Agus yang sedang merendam pakaian. Pagi ini kamar mandi antri banget. Nijma juga hendak mandi. Ia akan pergi ke Sukaraja. Belanja kebutuhan kelompok.

Saya, Rohman, Isor dan Nijma terlihat ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Kami semua sudah mandi. Bermacam parfum menyengat menusuk hidung. Masing-masing akan pergi sejenak meninggalkan posko. Dua buah motor ojek tampak siap mengantar kami ke Sukamaju.

Sebelumnya, aura narsis tak pernah hilang. Kami berpose sejenak di teras rumah. Sedikit bergaya di depan kamera. Anas menjepret kami empat kali. Warga sekitar dan tetangga menatap kami tanpa kata. Kami cuek tak menghiraukan.

Motor tak dinyalakan. Namun kami sudah naik. Isor dan Nijma menaiki RX King di depan, Saya dan Rohman menunggangi Smash. Tukang ojek Cuma menggulutukannya. Mereka perlahan menyusuri jalan. Penuh kerikil dan bebatuan seperti biasanya.

“parunten.” Ucapku pada pemuda yang sedang nongkrong.

“mangga..mangga.”

Miftahul Khoer, Mahasiswa Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Senang Menulis Dan Belajar Menanam Di Halaman Rumah.