Tulisan Bebas

Menumpas Mafia Sepak Bola Tanah Air

“Ayah apa benar di sepak bola Indonesia ada mafianya?” demikian celoteh anak Imam Nahrawi suatu hari.

“Tak hanya di sepak bola saja nak, di mana-mana ada mafia. Tapi karena sekarang jadi Menpora, maka izinkan bapakmu ini membereskan mafia bola ini,” ujar Imam menjawab pertanyaan sang anak.

Percakapan itu diceritakan kembali Imam Nahrawi saat berbicara di sebuah forum di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis (13/8).

Imam saat ini memang tengah menghadapi tantangan berat selaku Menteri Pemuda dan Olahraga di era Presiden Joko Widodo. Baru 10 bulan menjabat menteri, dia dihadapkan dengan permasalahan pembekuan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Tak heran apabila dia banyak dicerca sebagian masyarakat yang menuduhnya sebagai biang kekacauan persepakbolaan Indonesia. Tak hanya itu, imbas dari pembekuan PSSI itu berdampak pada para pelaku sepak bola terutama pemain yang menganggur.

Dugaan lain, imbas pembekuan PSSI menyebabkan kerugian hingga ratusan miliar yang berkaitan mulai dari klub, sponsor, hak siar, pemain dan lainnya.

Namun, bukan semata-mata Imam membekukan PSSI sebagai satu-satunya organisasi sepak bola yang ada di bawah naungan pemerintah. Dia punya alasan kuat kenapa harus ada perubahan di persepakbolaan Indonesia. Sebuah revolusi mental diharapkan terjadi.

Imam sadar betul nilai sebuah pertandingan sepak bola adalah sportivitas dan kejujuran. Tetapi, nilai luhur itu tampaknya tak terjadi di Indonesia, terlebih ketika dia menjabat sebagai Menpora.

Setidaknya, ada beberapa musabab kenapa dia merasa perlu mereformasi sepak bola Tanah Air di antaranya adalah persoalan transparansi keuangan, pengaturan skor, tata kelola klub dan latar belakang pengurus PSSI itu sendiri.

Kasus pengaturan skor misalnya yang tengah disoroti Imam saat ini. Dia kecewa ketika Menpora menguak kasus tersebut dan menemukan beberapa pengakuan yang mengkonfirmasi adanya praktik jual beli skor.

“Fondasi olahraga adalah sportivitas dan kejujuran, tapi setelah dibedah keduanya tak muncul di sepak bola kita. Yang ada adalah sebelum kicik off dimulai, sebelum wasit turun ke lapangan ternyata sudah ada pihak yang tahu siapa yang menang dan siapa yang harus kalah,” katanya.

Bukan itu saja, kemenangan sebuah klub dalam pertandingan diduga telah dikemas sedemikian rupa, dengan cara apa, menit ke berapa, kapan kartu merah dan kuning harus dikeluarkan wasit. Itu semua, kata Imam sudah diatur oleh mafia sepak bola Tanah Air.

Menurut Imam, dari semua kekacauan sepak bola Tanah Air tersebut dia menduga ada pihak yang menggerakan dan memonopoli sepak bola Indonesia untuk kepentingan pribadi, terutama dalam bisnis perjudian.

Padahal, dia ingin sepak bola Indonesia bisa maju dan berkembang dengan menjunjung nilai-nilai sprotivitas. Dia merasa malu dengan sepak bola Myanmar dan Vietnam yang dinilai selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia.

Terlebih, jumlah penduduk Indonesia yang hampir 100 juta penduduknya adalah pecinta sepak bola. Selain itu, Indonesia juga disebut-sebut sebagai supporter terbesar klub-klub sepak bola Eropa. Sayangnya, industri sepak bola di Tanah Air sendiri sampai saat ini kurang maju.

Dengan adanya pembekuan PSSI tersebut, Imam berharap adanya proses pembenahan secara menyeluruh di tubuh persepak bolaan Indonesia. Urusan adanya pihak yang memanfaatkan sepak bola sebagai ajang judi, dia mengaku tak ada masalah.

“Saya ingin katakan silakan berjudi bola tapi jangan pernah hasil judi atau cara judi itu masuk ke pengaturan skor dan lapangan. Berjudi cukup di tribun saja,” ujarnya.

Imam mengingatkan apabila sebuah perjudian sudah masuk ke wilayah lapangan dan melibatkan wasit, pemain dan elemen sepak bola, maka bukan sportivitas yang akan diperoleh tetapi ketakutan para pemain saat bertanding. “Mereka takut apabila tidak mengikuti arahan, imbasnya mereka berani cetak gol ke gawang sendiri.”

Dengan adanya kekisruhan sepak bola ini, Imam mengaku bukan untuk membunuh persepakbolaan Tanah Air seperti yang diberitakan media. Bahkan, dia menduga ada satu media yang sengaja menggiring isu bahwa dirinya sengaja mematikan sepak bola nasional.

Namun, Imam tak akan pernah mundur. Selaku mantan aktivis yang mengenyam idealisme di kampus, kebenaran yang dia genggam akan terus dipertahankan. Selama pembekuan PSSI itu dinilai benar, dia akan berjuang sekuat tenaga.

“Saya berharap soal sepak bola ini nanti pada Februari akan kelihatan hasilnya. Tinggal bagaimana kita melakukan reformasi dan polanya,” katanya.

Tulisan Bebas

Laptop Dewasa (17+)

DUA ORANG sudah berada di alam mimpi. Posisi tidurnya tidak karuan. Kasurpun seolah tak terpakai. Tubuh dan kepala mereka tidak searah dengan busa agak empuk itu. Wicak dan Godi terbawa arus dunia alam bawah sadar. Sebuah bulatan yang berdetak di dinding menunjukan pukul dua dini hari lebih 10 menit. Jum’at 25 Desember bisikan angin mencubit kulit.

Di depan mereka, tak jauh dari posisi tidurnya, hentakan windows media player melaju pelan membunuh sunyi pagi di komputer Suaka. Alunan lagu The Panas Dalam—Tong Gandeng sudah berakhir. Giliran Munajat Cinta yang di teriakan Ahmad Dani dan kawan-kawan mengiringi saya dengan seksama. Djarum Cokelat masih setia menemani. Kadang abu rokoknya saya taroh di sembarang tempat. Sesekali saya menghisap dalam-dalam rokok terakhir pemberian Fajar Titik Fauzan itu.

Beberapa menit yang lalu, suara ponsel saya berdering. Fajar, yang akrab disapa Ozan memanggil dengan penuh semangat.

“Aya motor teu, urang jemput teun si Ifan, iyeu mawa leptop berat.” tawarnya.

“aya, dagoan sakeudeung.” tantang saya.

Sebuah kunci motor saya ambil. Segera saya jemput Ozan di Almishbah, tempat dimana ia menunggu untuk saya jemput. Suzuki Shogun yang terparkir tepat di teras Suaka saya nyalakan. Dengan berbekal celana pendek dan kaos yang tertancap di tubuh, saya tak hiraukan. Akibatnya sudah pasti serangan ganasnya angin itu merongrong kulit ini.

Di Almishbah, tempat dimana saya dibesarkan, Ozan sudah menunggu. Sebuah tas digendongnya. Isinya, persis apa yang ia katakan, leptop.

“buru naek, urang hoream napak” kata saya.

“weis…” jawabnya.

Tak lama saya tancap gas untuk kembali kesuaka. Sebenarnya Ozan membawa motor, namun katanya, lagi dipinjam sama temannya Ifan, selama ia bertandang ke rumah pujaan hatinya, Poppy, gadis asal Cipadung yang sudah lama ia pacari dan menjadi belahan jiwa hidupnya. Poppy adalah mahasiswa Muamalah semester tiga. Hubungannya dengan Ozan yang saya tahu dari sejak SMA.

“neangan warung hela uy, meuli rokok.” katanya.

“ke di hareup.” kata saya.

Saya berhenti sejenak disebuah warung dekat pangkalan ojek Cipadung. Ozan turun dari motor mendatangi warung itu. Beberapa batang rokok Djarum Cokelat dibelinya.

“jeung korekna, di Suaka eweuh korek.” teriak saya.

“mang korekna hiji.” katanya kepada pemilik warung.

Tak lama saya nyalakan motor kembali. Jalan raya terlihat sedikit lengang. Maklum sudah malam, namun beberapa orang terlihat lalu lalang sekedar mencari makanan di sekitar Cipadung.

****

DI RUANG Suaka, Wicak, Godi dan Hamdan sudah terlelap, namun ketika suara Ozan terdengar memecah konsentrasi mereka yang sedang tertidur itu. Seperti biasa suara tertawa yang terbahak-bahaknya itu mungkin menembus alur pikiran bawah sadar sehingga membangunkan fokus mimpi mereka. Wicak dan Godi pun sejenak terbangun.

Saya langsung mempromosikan sebuah video wayang terbaru yang mungkin Ozan belum pernah melihatnya. Beberapa lakon dalang Asep Sunandar Sunarya yang sempat memekik dan mengguncang perut saya hingga terbahak-bahak. Ozan suka, dan sudah pasti ia tertawa juga melihat video wayang itu. Dan tak lama saya menyalakan leptopnya untuk sekedar berhotspotan ria. Ozan masih tengah menikmati wayang itu.

Di teras Suaka terlihat tiga orang yang asik duduk sembari hotspotan juga. Dengan listrik gratis dari Suaka, teras itu akhir-akhir ini selalu dijejali oleh orang-orang yang sengaja menumpang untuk berfantasi dengan dunia maya itu, facebook, yang tengah digandrungi oleh segenap lapisan masyrakat dari kakek-kakek sampe balita.

Setelah leptop dinyalakan, ternyata sinyalnya lemah. Loadingnya lambat sekali. Saya sedikit kesal. Padahal ketiga orang itu berasik ria, tapi kenapa leptop yang saya pegang tak kunjung connect juga. Sambil menunggu jaringannya nyambung.

Saya sesekali membuka file dan folder yang ada di leptop Ozan. Setelah melihat-lihat beberapa folder. Saya menemukan ada kejanggalan yang tersentak setelah membuka folder ‘tajam’. Rasa penasaran saya pun tertanamm segera saya membuka satu persatu file itu, ternyata semuanya video adegan yang khusus dewasa. Dengan tak menyianyiakan kesempatan. Saya memanfaatkan kesempatan itu dengan mem-play satu persatu video tersebut. Dan harus diketahui setelah saya cek size-nya ternyata video terlarang itu lebih dari lima giga. Duh pantesan saja dari tadi hotspot gak nyambung-nyambung. Ternyata banyak ‘virus’ yang bergentanyangan di leptop itu. Mudah-mudahan mata ini masih diterima disisiNya. Ya Alloh ampuni orang yang mempunyai leptop ini. Amin!

Jum’at 25 Des 09 -tiris-

Tulisan Bebas

Kursus Grammar Di SMART Saja

Pare adalah sebuah desa yang eksotis dan mempunyai kekayaan tersendiri. Di desa ini terdapat banyak sekali tempat kursusan. Mulai dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, Mandarin sampai Korea, ada di sini.

Desa Tulungrejo, desa yang ramai jika siang hari. Selepas magrib, ribuan orang hilir mudik di desa ini. Ada yang ngomong bahasa inggris di sepanjang jalan. Mereka sepertinya gak malu-malu lagi dengan kebiasaaan mereka. Mereka sedang kursus di beberapa tempat yang ada di Tulungrejo dan sekitarnya. Salah satunya SMART International Language College (SMART ILC) yang berada di jalan Flamboyan No 182 Tulungrejo – Pare. No telefonnya (0354) 391505

Tadi siang aku kesel banget. Aku gak lulus placement test yang digelar SMART ILC. Aku ngambil kelas Pre Grammar. Tapi susahnya minta ampun. Sebenarnya aku bisa sih ngambil di tempat lain, tapi aku bener-bener pingin menaklukan SMART. Kata orang sih SMART terbilang tempat kursusan bagus untuk Grammar. Dan itu terbukti sama aku sendiri. Ternyata SMART emang keren dan layak diadu. Sistem pengajarannya gak akan di dapat di tempat kursusan lain. Dan aku jamin, sarjana bahasa Inggris pun, kalo udah masuk SMART pasti ilmunya gak ada apa-apanya. Suer deh. Soalnya aku udah ikutan Elementary Grammar. Dan itu udah bikin aku setengah stress. Bayangin dong baru Elementary Aja udah bikin pusing. Apalagi kelas berikutnya. Pre Grammar, Pre Class, Med Class dan High class. Bisa-bisa aku mati medadak. Hehehe.

Kursus di SMART terbilang murah banget. Bayangkan, satu pertemuan kita hanya membayar Rp 1666,- semuanya 66 kali pertemuan. Bisa di hitung dong, dalam satu bulan kita hanya membayar 110.000,- satu harinya tiga kali pertemuan. Satu kali main class dan dua kali study club. Dan jangan heran kalo di kelas, tiba-tiba kita dapat traktiran dari tutor, berupa minuman atau makanan ringan, nanti juga kita bakal kebagian nraktir orang lain. So, jangan bawa duit pas-pasan kalo kursus di SMART. Hehehe. Tapi dijamin kok, ketika kita pulang ke daerah asal masing-masing, ilmu kita gak bakal ilang.

smart

Kenapa aku bilang kursus di SMART itu lain dari yang lain? Pertama, kita kursus di alam terbuka, kadang lesehan. Kedua, para tutornya, kita gak bakal didapat di tempat kursusan lain. Semuanya humoris dan kocak abis, so, bagi yang punya temprament tinggi, mending kalian bersabar dikit, karena ulah dari Para tutor ini kadang di luar batas. Tapi semuanya baik-baik dan keren –keren kok. Hehehe.

Oya, aku bakal kenalin satu persatu tutornya. Pertama, Mr. Ketjeng, orang ini kurus, bergigi ompong, rambut gondrong, namun jangan di sepelekan kapasitas otaknya, dia itu salah satu master of Grammarnya SMART. Kedua, Mr. Nidji, orang ini pendek, rambutnya ikal kaya vokalis Nidji, itulah sebabnya kenapa ia di sebut nidji. Tapi orang-orang di SMART sangat segan padanya. Kemampuan Grammarnya jangan di remehkan. Ketiga, Mr. Syafi, orang ini juga gondrong, namun imut. Gaya bicaranya cepat  dan tangkas. Wajahnya mirip Piyu Gitaris Padi. Tapi mengenai Grammar, semua rumus udah di luar kepala. Dan banyak lagi the master of Grammar di SMART ini. Orang bilang, belum afdol kalo ke Pare gak nyoba kursus di SMART. So, ngapain lagi, ayo kursus di SMART aja.

Tulisan Bebas

Kontrak Forum Di SMART Pare

Setengah Sembilan tepat, saya masuk kelas Speaking I. sebelumnya para peserta belum pada dating. Saya ke warung dulu sebentar. Pesan nasi buat sarapan. Karena hari ini perut sudah mulai keroncongan. Padahal biasanya pagi-pagi jarang merasa lapar.

“bu nasi bu.” Pesan saya.

“ama apa aja mas.” Kata si ibu warung yang bersebelahan dengan SMART.

“telor. Tempe. Mie. Sambel. Krupuk.” Pesen saya lagi.

Nasi dan lauk pauknya udah di tangan. Saya mengeksekusinya dengan santai. Sebuah meja dan kursi dari bamboo menemani sarapan saya ini. Di pinggir saya banyak orang. Mungkin sama juga seperti saya. Mereka peserta kursusan juga.

sma

Bahasa mereka pastilah Jawa. Saya tidak mengerti apa yang mereka omongkan. Mereka pada tertawaterbahak-bahak. Mungkin bagi mereka lucu. Tapi menurut saya, ngomong apaan mereka.

Sesuap demi sesuap nasi, saya masukan ke dalam mulut dengan seksama. Nikmat benar pagi ini. Cuaca lumayan gerah seperti biasa. Namun kali ini, sepertinya nasinya terlalu cepal. Tapi enak sekali. Bumbu telor dadarnya memanjakan lidah saya. Tadinya saya mau nambah. Namun kelihatannya, di sebelah, kelas yang saya ikuti sudah pada datang.

“bu, jadi berapa bu?” tantang saya.

“apa aja masnya?” kata si ibu warung.

“telor. Tempe. Mie. Sambel. Krupuk.” Jawab saya.

“semuanya jadi empat ribu.” Kata si ibu.

Saya kasih uang seratus ribu. Tapi belum dibayarkan. Kata si ibu, nanti saja setelah rada siangan. Toh, saya juga gak bakal kemana-mana. Kan kelas saya sama warung si ibu berdekatan. Sekitar tiga meteranlah. Jadi, si ibu percaya sama saya. Dan perlu anda ketahui. Di Pare ini, orang-orangnya terkenal jujur-jujur. Jarang sekali terjadi kecurangan atau pencurian.

Saya masuk kelas Speaking. Sebuah lingkaran sudah di bentuk. Inilah cara SMART dalam mengajarkan kursusannya. Para peserta diajak rileks dan santai. Bagi yang mau makan dan merokok silahkan. Tapi kali ini, semua peserta bersepakat agar tidak ada yang merokok di kelas. Jadi saya harus menahan keinginan saya dalam rangka merokok. Preeet.

Hari ini kontrak forum di Speaking I. ada beberapa peraturan dan kesepakatan dalam kursus ini. Selama satu bulan, mulai tanggal 25 Juni sampai 25 Juli, kita diberi gambarannya dulu. Dari mulai jadwal, absensi sampai ujian sudah kita bicarakan hari ini.

Kelas Speaking I angkatan periode 25 Juni 2009 ada empat belas orang. Lelakinya Cuma bertiga. Tapi hari ini lelaki yang satu tidak hadir. Perempunnya paling banyak. Ada sebelas orang. Dari mulai SMP sampai Kuliahan ada di sini. Saya jadi merasa anak kecil lagi kalau di satukan dengan anak SMP. Tapi demi ilmu, apa sih yang enggak.

Pare-Kediri, Asrama Tri Jaya 26 Juni 2009 03:38

Tulisan Bebas

Sepeda Gratis

Saya bangun pagi lagi. Tadi malam tidur enaaaak banget. Udah dua hari ini nyenyak banget tidur saya ini. Saya segera ke air. Ambil wudhu lagi. Sholat shubuh lagi. Balik ke air lagi. Buang air besar lagi. Tapi pagi ini susah keluar. Aneh, gak tau kenapa. Saya tinggalkan WC itu. Saya ambil sepeda yang bocor. Si ibu kos ada di situ, di luar lagi nyapu.

“bu, saya mau benerin ini sepeda.” Saya bilang.

“oh, iya, monggo. Saying itu sepeda jarang di pake.” Kata si ibu.

Saya bawa sepeda. Meninggalkan kosan. Untung bengkel sepeda gak jauh dari tempat kosan. Saya dekati itu bengkel. Oh, ternyata masih tutup. Saya balik lagi ke kosan. Di jalan terlihat banyak orang. Di kiri saya dan di kanan saya juga. Mereka anak camp yang lagi jalan-jalan. Sambil ngobrol gitu. Di sana terlihat Nora sama Maher. Mereka ngmabil program di Global E. tapi kemana itu si Ista, gak kelihatan batang hidungnya.

Saya balik lagi ke kamar. Menghampiri si ibi lagi yang udah beres nyapu. Saya melihat kunci di tanah. Lalu saya ambil. Kunci kecil mirip sama kunci saya.

“bu, ini kunci siapa?” saya Tanya.

“oh, anu… Wahyu.” Kata si ibu.

Hebat ya si ibu, tau kunci orang, padahal kamar kosannya banyak banget. Pasti ingatannya bagus tuh. Wah, saya salut bu sama ibu.

Saya lewati tangga untuk sampe ke kosan. Oh, pintu tidak dikunci rupanya. Saya buka pintu kamar. Saya ambil laptop dan menyalakannya. Lalu saya menulis apa yang bisa saya tulis. Jam menunjukan pukul enam lewat tiga puluh pagi. Laptop Nora yang saya pinjam udah tiga hari.

Sekarang saya mau kebawah lagi. Mau ke bengkel lagi. Mau benerin sepeda lagi. Saya mau berangkat jam setengah Sembilan. Jadi sepeda harus beres sebelum jam segitu. Saya gak mau jalan kaki lagi. Saya berterima kasih sama si ibu kos yang udah kasih pinjem itu sepeda. Kalo orang lain itu harus beli atau sewa. Lumayan satu sepeda delapan puluh ribu. Kalo sewa sekitar empat puluhan.

Pare-Kediri, Asrama Tri Jaya 25 Juni 2009 06:36

Tulisan Bebas

Pelajaran Pertama Di Pare, Ngerjain dan Dikerjain

Kelas yang saya ambil adalah Speaking I dan Elementary Grammar. Saya masuk mulai jam 09:30 untuk Speaking dan 10:00 untuk Elementary Grammar. Hari pertama dari masing-maing kelas adalah kenalan. Setiap peserta maju kedepan dan mengenalkan dirinya sendiri.

Pertama saya masuk kelas yang salah. Saya dikerjain sama anak-anak SMART. Harusnya masuk kelas Speaking I, tapi malah ke kelas lainnya yang berdekatan dengan Speaking I. sudah hampir 20 menit saya berada di kelas lain. Terus kelas sebelah memanggil nama saya.

“Miftahul Khoer…mana?” kata tutor.

“saya sir…” kata saya.

“lo kamu kok di situ. Ini kelas kamu.” Kata dia.

“wah geblek, ada yang ngerjain.” Saya bilang.

Semua orang pada tertawa enak melihat saya di kerjain. Akhirnya saya pindah ke kelas sebelah. Disini orangnya pada malu-malu. Saya satu kelas sama anak anak SMP. Ada juga yang kuliahan. Ada juga yang udah nikah. Tutornya malahan gak sempat sekolah. Hanya tamatan SMP.

Di kelas ini lelaki Cuma bertiga. Perempuannya lebih banyak. Dating dari berbagai pulau dan suku. Kalimantan, Sumatera, Jawa, Makasar dan banyak lagi. Mereka dating ke sini hanya untuk kursus bahasa inggris. Ada juga yang liburan mungkin.

Kelas Speaking udah selesai. Saya masuk Elemantary Grammar sekarang. Kelasnya sedikit nyaman. Dalam ruangan. Kalau tadi, Speaking hanya di luar. Berisik pula. Katanya sengaja, kalau Speaking harus di luar, biar suaranya keras. Keras bapakmu saya bilang dalam hati. Yang ada berisik tau.

Setelah orang-orang maju ke depan. Bagian saya maju ke depan. Memperkenalkan diri. Mulai dari nama, alamat, tempat tanggal lahir sampai status.

“nama saya Miftahul Khoer…panggilan Miko. Saya lahir di Bandung, tiga Maret, tahun delapan tujuh. Sudah ya, assalamualikum.” Saya bilang begitu.

“bentar dulu mas…sekarang kegiatannya apa?” kata tutor.

“kursus di sini.” Kata saya.

“maksudnya, kuliah apa kerja?” kata dia.

Saya bingung mau jawab apa. Untung tadi udah pesen sama Nora, jangan bilang-bilang kalau saya kuliah di BSI. Saya hanya ngaku kalau kuliah di SUAKA Institute.

“saya sedang kuliah di SUAKA Institute Bandung.” Saya bohong.

“jurusan apa mas?” dia nanya.

“jurusan Komunikasi Jurnalistik.” Saya bohong lagi.

Kalau tadi saya di kerjain sama anak-anak SMART, giliran saya sekarang yang ngerjain mereka. Setelah beres kenalan, kan di meja tutor ada segelas air jeruk yang khusus di sediakan untuk tutor, nah saya iseng sama tutornya.

“mas airnya boleh di bawa mas?” kata saya.

“oh monggo monggo.” Kata dia.

Semua anak anak pada tertawa terbahak-bahak melihat saya mengambil minuman punya tutor. Memang bukannya tidak sopan, tapi ini adalah pelajaran hari ini dari Bandung. Soalnya dari kemaren, orang Jawa itu terbilang menguasai, jadi apa salahnya, saya, selaku orang Bandung, Jawabarat, show up sedikit sama mereka kalau saya juga suka bercanda. Ngerti ora ndul!

Pare-Kediri, Asrama Tri Jaya 26 Juni 2009 06:00

Tulisan Bebas

Bangung Pagi

Saya terbangun dari tidur. Ini kosan saya. Kemarin baru sewa sama si ibu kos. Harganya 150 ribu sebulan. Saya baru bayar 100 ribu. Sisanya saya bilang bulan depan atau akhir bulan sama si ibu. Pagi yang cukup dingin. Gak jauh beda dengan Bandung. Tpi gak tau juga kalo siang. Mungkin panasnya melebihi Bandung. Karena saya sudah merasakannya kemarin.

Saya bergegas ke WC. Mengambil air wudhu lalu sholat subuh. Terus mengetik sisa tulisan yang semalam tertunda akibat mengantuknya saya kemarin malam. Laptop gak dimatikan. Dibiarkan menyala begitu saja sekalian charging baterenya.

Kamar kosan kira-kira 2.5 X 2.5 meter persegi. Buat saya kamar yang cukup untuk seorang pria seperti saya. Ini adalah pertama kalinya saya kos dalam seumur hidup. Saya mau merasakan bagaimana menikmati hidup jauh dari orang tua. Hidup sendiri. Cuci sendiri. Makan sendiri. Segalanya sendiri, walaupun banyak temen disini, di Pare, Kediri ini pada membantu.

Kamar masih berantakan. Saya belum sempat membereskannya. Belum pel lantainya. Rencananya entar siang baru saya beres-beres kamar. Mempercantik agar bisa betah di sini. Kamar saya paling pojok kanan atas. Sebuah asrama pria yang lumayan sejuk. Namanya asrama Tri Jaya. Asrama ini cukup terkenal sejagad Pare.

Pare-Kediri, 25 Juni 2009 Asrama Tri Jaya 04:20

Tulisan Bebas

Ujian Akhir Semester

Hari ini hari Jumat. Hari yang khusus untuk para kaum pria melaksanakan ibadah Jumat. Selain lelaki atau pria atau cowok, dilarang melaksanakan Jumatan. Karena dari dulu juga tidak ada kabar kalau setiap hari Jumat seluruh mesjid sekitar jam 12 siang dipenuhi oleh kaum wanita untuk Jumatan. Tidak ada sama sekali. Kalaupun ada kasih tahu saya. Saya pingin ikut Jumatan bareng para wanita.

Hari jumat sekarang boleh dikatakan hari yang gado-gado. Dari semalam saya bingung mikirin tugas Ujian Akhir Semester atau disingkat UAS. Kenapa saya bingung? Karena saya pusing? Kenapa saya pusing? Karena saya belum mendapatkan sebuah ide yang cemerlang untuk menyiasati bagaimana mengerjakan sebuah tugas UAS. Emang seperti apa tugasnya sampai saya bingung dan pusing? Saya akan ceritakan seperti yang dibawah ini:

Suatu hari, saya mendapati seorang teman kuliah sedang tidak kuliah. Saya lupa lagi siapa teman saya itu. Tapi saya hafal dia itu perempuan. She is a girl. Dia adik kelas saya. Dia semester enam. She is six semester. (kalo salah mohon dibenerin) nah, setelah itu barulah saya menanyakan kepada dia tentang UAS yang akan digelar itu kapan.

“kapan UAS Drama 2.” Saya berkata.

”bikin sandiwara radio, terus dikumpulin paling lambat hari Jumat.” dia menjawab.

Setelah mendengar itu saya mendadak berfikir sejenak. Apa yang akan saya lakukan untuk membuat sebuah ujian akhir semester itu. Lama sekali saya berfikir. Merenungi sesuatu yang belum saya cari dan temukan. Akankah sebuah ilham datang pada saya secara tiba-tiba.

Sambil mencari ilham yang belum juga datang, saya mencari sesuatu yang lain. Mencoba keluar ruangan dan melihat suasana sekitar. Mudah-mudahan ilham ada di situ. Tapi ternyata ilham belum juga muncul dari benak saya. Harus bagaimanakah ini sodara-sodara? Dimanakah ilham berada?

Nah, munculah sedikit bayang-bayang menghampiri saya. Sekitar rada sore, datanglah dua orang manusia menuju kantor yang saya naungi ini. Godi dan Dilla. Mereka usai membagikan terbitan baru Suaka ke berbagai kampus tetangga. Sebut saja Suara Mahasiswa Unisba, Boulevard ITB, Jumpa Unpas dan temen-temen Pers Kampus lainnya. Dilla menjingjing sebuah kresek hitam berisi nasi buatan si Emak. Didalamnya ada dua bungkus. Siapa itu si Emak? Akan saya ceritakan nanti.

”Dil, punya MP4 gak.”

”punya, buat apa Bang.”

”pinjemlah saya mu ngerekam nih.”

”ada di kosan.”

Yes, rupanya ilham datang juga. Saya mulai berfikir lagi, mau ngapain setelah MP4 ada? Ternyata bingung juga. Saya pun mencari ilham yang lain dengan mendengarkan beberapa sandiwara radionya kang Ibing. Dari mulai cerita Ronda sampai Bebesanan, saya simak sesimak simaknya demi menemukan sebuah ide yang cemerlang. Barulah dari situ saya menyusun kata-kata yang akan saya rekam.

Hari mulai larut. Dilla belum juga muncul. Katanya dia mau pinjemin MP4, tapi sampai matahari bersembunyi pun dia belum nongol. Kemanakah kau Dilla. Lupakah engkau pada diriku yang telah berjanji akan meminjamkan MP4. Tega nian engkau Dilla. Diriku yang tersiksa oleh sebuah tugas UAS ini mengharapkan sekali apa yang telah kita berdua ini sepakati. Preeet.

Oke. Tidak apalah, saya mencoba meminjam ke manusia lain. Dodi Rahmadi, ya, katanya dia juga memiliki sebuah MP4. Haruskah saya meminjam padanya? Harus! Baiklah, segera saya telefon itu si Dodi. Dan segera pula saya cari nomor kontaknya di hape. Sedangkan waktu sudah mendekati magrib. Tidak apalah saya menelfon dia magrib-magrib. Toh magrib juga gak bakal memarahi saya.

”assalamualikum.”

”walaikumsalam…siapa ini?’

”ini Miko, Dod.”

”O, a Miko, ada apa a.”

”Dod, saya mau pinjem MP4, boleh gak.”

”O, boleh a, ntar abis magrib aja ya a.”

”O, iya, gak apa apa.”

”saya yang kesana atau gimana.”

”iya Dodi yang kesuaka aja deh. Makasih ya Dod.”

”yu a, sama sama.”

Begitulah kira kira percakapan saya bersama seorang teman saya yang bernama Dodi Rahmadi. Setelah beberapa menit kemudian, datanglah Dodi bersama MP4nya. Saya sudah berada di luar kantor. Dari kejauhan saya sudah menebak bahwa yang sedang berjalan sambil merokok itu pasti Dodi, soalnya dari cara dia berjalan sudah ketahuan. Dia itu jangkung dan berkacamata.

Dodi menghampiri saya dan memberikan itu Mp4. Maksudnya mengasih pinjam MP4 pada saya. Karena tidak mungkin Dodi memberi MP4nya sama saya. Pasti dia juga butuh untuk sekedar mendengarkan musik. Nah, setelah adegan saling memberi dan menerima antara Dodi dan Saya, mengenai MP4 itu, datanglah seorang manusia lagi. Kali ini jenis kelaminnya kewanitaan atau bisa dibilang perempuan. Namanya kurang lebih Ristalia. Siapakah Ristalia itu? Juga akan saya bahas. Insya Alloh kalau ada waktu dan space yang cukup. Doakan saja agar saya bisa membahas Ristalia dan si Emak.

Tulisan Bebas

Ngerjain Cewek Seberang

Tadi pagi sekitar jam sepuluh, Nora ke datang Suaka sambil uring-uringan. Katanya dia lagi ‘dapet’ otomatis emosinya rada naik. Maklumlah kalo cewek lagi ‘dapet’ bawaanya marah marah terus, katanya. Kenapa dia kesel banget? Ya mungkin hari ini kan kami: Saya, Nora, Ista sama Maher mau berangkat ke Pare. Mau kursus bahasa Inggris selama beberapa minggu. Jadi segalanya harus dipersiapkan, dari mulai tiket sampe hal-hal yang bersangkutan dengan perjalanan menuju Pare, Kediri.

“si Ista kemana sih? Udah kesini” gertak Nora.

“belum.” Kata saya tidak menggertak.

Gak lama kemudian, Ista datang. Biasa, suasana rada heboh. Ini orang emang riweuh minta ampun. Maklumlah orang seberang gituloh. Selain Ista, maher juga datang ke Suaka. Maher temen satu jurusan ista. Humas. Dia juga berencana pergi ke Pare. Saya baru kenalan sama dia. Baru saja.

Sekarang ini, aku sengaja diam. Maksudnya tidak memberikan sumbangsih apapun untuk masalah pemesanan tiket. Saya sengaja gak mau ikut campur dalam pembelian tiket kereta. Biar mereka yang kesana kemari cari itu tiket. Biarin mereka bilang saya lelaki gak bisa di andalkan. Abis, itulah yang saya harapkan. Mencoba mencari sesuatu yang asyik dan menjengkelkan orang. Terutama orang seberang. Maksudnya orang luar Sunda. Mereka, Ista dan Nora termasuk orang seberang. Sumatra dan Sulawesi.

Selanjutnya, Nora meninggalkan Suaka. Dia berencana pergi ke Griya Ujung Berung. Katanya mau bertemu sama pacar Omnya. Katanya lagi dia mau dikasih uang sekaligus bekal untuk perjalanannya. Bagus deh kalau gitumah, ada cemilan saat nanti di perjalanan.

Saya kasih uang empat puluh ribu perak sama Ista. Biar saya titip tiket sama dia. Emang sih seharusnya saya yang harus pesan tiket. Saya kan laki-laki, jadi harus rela berkorban sama perempuan-perempuan itu. Tapi kan saya sudah bilang kalo saya sengaja tidak ikut berkecimpung dalam masalah pemesanan tiket. Biar saya bisa menulis bagaimana asyiknya membuat bete itu orang-orang seberang.

Mereka udah berangkat menuju Ujung Berung. Selama perjalanan mungkin mereka ngomongin saya. Miko itu nyebelinlah. Gak ada pengorbananlah. Gak bisa diandalinlah. Dan lah lah lainnya.

Gak apa apalah saya dikatain begitu. Mereka ngomongin saya kayak gitu. Saya maafkan. Benerean saya maafkan mereka. Toh yang penting, hari ini saya bisa membuat mereka kesel, itu udah bikin sebuah prestasi buat saya. Karena selama ini mereka keliatan enjoy-enjoy terus, ya apa salahnya mereka saya bikin bete dan kesel. Tapi itu Cuma sementara. Saya gak ada niat buat ngerjain mereka. Cuman buat sebentar aja. Biar bisa bikin kenangan selama pra pemberangkatan.

Suaka 23 Juni 2009 (11:22)

Tunggu kisah selanjutnya.

Tulisan Bebas

Gerbong Enam Menuju Kediri

Hujan baru saja reda. Persiapan sudah sempurna. Tidak ada yang ketinggalan setelah saya cek beberapa list barang-barang yang harus di bawa. Pakean, dari mulai handuk, baju koko, kaos, kemeja sampai celana dalam udah dimasukan ke dalam tas. Tas hadiah dari sponsor. Bertuliskan Ciptaden. Entah dari mana tas itu saya temukan. Mungkin hadiah dari Borma. Kakak saya kerja di sana soalnya.

“lagi pada di mana bos?” saya bertanya pada Nora melalui telefon genggam.

“di kosan. Jemput donk.” Jawabnya seenaknya.

“jemput pake apa gak bawa motor.” Timpal saya.

“ya udah jalan kaki aja.” Dia menyerah.

“oke saya segera kesana, ke kosan.” Saya bergegas.

Tidaklah lama saya berjalan ke kosan Nora. Dari rumah menuju kosannya. Sepuluh menit pun tidak. Tujuh menit mungkin iya. Jalanan masih becek akibat terceceri air hujan. Jadilah jalan Cipadung semakin terpuruk. Berlubang. Berkerikil. Berbatu. Untung tidak ada ikannya. Kalau ada, gawat. Bisa bisa jalanan itu menjadi kolam. Karena bolong-bolongnya pada dalam. Silahkan bapak-bapak pejabat kelas bawah urus itu jalan.

Saya sudah sampe di kosan Nora. Jaket hijau, kenangan KKN saya pakai. Beserta isinya, celana jeans dan kaos. Tak lupa sepatu bot saya tempel di kaki. Makin gagah lah penampilan sore itu. Sebuah tas saya gendong. Walaupun lumayan berat. Isinya ya itu tadi, keperluan selama di Pare.

Nora masih kebingungan mempersiapkan keperluannya. Terpaksa saya bantu dia memasukan beberapa barang yang harus di bawa. Tak jauh beda, pakean, peralatan alat mandi dan alat tulis dibawanya. Cuma ada yang sedikit berbeda dengan barang bawaanya. Poin plusnya adalah berbagai macam makanan  ikut memeriahkan isi tas yang akan dibawa Nora. Ini menjadi informasi yang begitu penting buat saya. Sebab, secara otomatis makanan itu bakal memenuhi perut saya kelak selama di perjalanan.

Saya sudah siap. Begitu juga Nora. Saya solat dulu Maghrib disusul solat isya. Namanya kalau tidak salah dijamak. Setelah semua beres dan tidak ada yang ketinggalan, kami berdua berjalan menuju kampus. Nora tak lupa pamitan dengan teman sekosan dan ibu kos. Kami berdua seperti mau mudik. Seluruh badan dipenuhi barang bawaan.

“telefon Ista donk, kerjain dia, kamu gak jadi ikut gitu.” Saran saya pada Nora.

Nora bergegas mengambil hape dari kantong saku celananya. Dicarilah nomor Ista. Lalu di pijit tombol call oleh Nora. Percakapan dimulai.

“Ta, lagi dimana. Aku gak jadi ikut. Aku mendadak sakit.” Celoteh Nora. Saya tidak bisa membayangkan apa yang menimpa Ista ketika mendengar perkataan Nora tersebut. Wajahnya. Beungeutnya. Matanya.

“terus tiketnya disiapa?” jawab Ista so cool.

“dititip di a Miko.” Sandiwara Nora.

“ka Mikonya di mana.” Ista penasaran.

“di depan. Di nasgor depan kampus.” Nora barkata.

Saya dan Nora ketawa-ketiwi. Mungkin Ista shock berat mendengar telefon tadi. Terus, saya dan Nora tunggu di nasgor kampus. Beberapa selang kemudian datanglah Ista. Wajahnya pucat. Matanya merah. Mungkin usai nangis mendengar kabar tadi. Yang salah satu dari kami ada yang pura pura gak jadi ikut ke Pare.

Setelah mendapati kita berdua berdandan rapih sambil menyantap nasgor. Ista tersenyum pulih sambil megeluarkan kata-kata polosnya.

“jahat banget kalian ngerjain aku.” Katanya.

“haha…abis nangis ya.” Kata saya.

“gak, ngapain juga nangis.” Ista bela diri. Nora tetap tertawa kecil.

“lagian gak mungkin banget kamu (Nora) gak jadi ikut. Tadi sore juga gak apa apa.” Kata Ista lagi.

Akhirnya kami ketawa-ketawa lagi seperti biasa. Ista juga pesen makanan pada si emang nasgor. Tapi tidak, dia pesan capcai. Gak pake nasi. Saya hanya melihat mereka makan. Saya membakar rokok clasmild yang baru saya beli di kopma.

Beberapa menit kemudian datanglah satu lagi peserta Pare asal UIN SGD Bandung, Maher, membawa sebuah koper besar. Tapi gak kalah besar dengan tubuhnya yang gempal. Suasana mulai hangat. Saya baru kenal sama Maher. Begitupun Nora. Maher teman sekelasnya Ista di Humas.

Oh, ya. Saya akan kenalkan satu persatu dari mereka. Nora, mahasiswa Jurnalistik semester tiga. Ista mahasiswa Humas semester tiga juga. Sama-sama dari fakultas Dakwah dan Komunikasi. Maher, atau Heri Susanti saya kira cukup dijelaskan di atas. Saya sendiri, Miftahul Khoer, akrab disapa Miko jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora. Mereka bertiga ditambah saya sama-sama berambisius pingin ke Pare, Kediri. Tujuannya, macam-macam. Ada yang kursus, obesrvasi sama mencari pengalaman. Saya termasuk kedalam ketiga-tiganya. Tapi tidak semester tiga.

Di kereta.

Semua barang telah saya naikan ke atas kereta Kahuripan jurusan Bandung-Kediri. Saya, Nora, Ista dan Maher sudah berada di kereta gerbong enam. Paling belakang. Saya kebagian duduk bersebelahan dengan Nora, sementara Ista satu jok dengan Maher. Kami saling membelakangi.

Di depan saya, ada sepasang ibu dan bapak. Mungkin mereka sudah menikah. Kelihatannya begitu. Tetapi saya rasa pasangan ini lebih tua perempuannya ketimbang lelakinya. Mereka orang jawa. Katanya usai pulang dari rumah sodaranya di Bandung.

Di samping saya juga ada sepasang bapak dan ibu, tetapi mereka sudah beranak, atau mungkin kebetulan saja mereka bawa anak. Lumyan lucu-lucu anaknya. Yang pertama sekitar lima tahun, kedua sekitar Sembilan bulanan. Dan justru pasangan ini sebaliknya, perempuannya muda banget, saya rasa sekitar dua puluh tiga tahunan. Dan si suaminya sekitar empat puluh lima. Rambutnya memutih.

Tepat di belakang saya, Cuma terhalangi kain jok, Maher dan Ista sudah mulai ribut. Saya sejenak melihat mereka dengan menaiki jok sendiri, meyakinkan bahwa mereka sudah duduk di jok. Oh, rupanya mereka sudah berkenalan dengan teman yang berhadapannya. Belakangan saya tahu teman yang berhadapan dengan Ista. Itupun di akhir sekali saat kami turun dari kereta. Namanya Bima Ketut. Ini orang salah satu yang mengacaukan perjalanan kami dengan memberikan alamat palsu.

Panas. Padat. Ribut. Asap dan hal lainnya yang  tidak positif bertebaran di kereta. Oh, inilah rasanya naik kereta. Tidak se ekstrim yang saya bayangkan rupanya. Tapi memang penat juga sih bagaimana berdesak-desakannya orang-orang. Semakin membuat gerah tubuh dan cepal. Saya sengaja membuka jendela kaca. Supaya semilir angin menghampiri saya dan Nora minimal.

Di depan, si ibu tetangga saya, kelihatannya sudah mengantuk, dia memutuskan untuk tidur. Membuat suaminya, yang saya kira lebih muda darinya itu beranjak dari joknya. Mungkin dia mengalah untuk istri tercinta. Si ibu berbaring di jok berukuran kira-kira 40X100 sentimeter itu. Kakinya dilipat sedikit karena tidak cukup. Sibapak, suaminya rela duduk di bawah.

Dipinggir saya ada seorang perempuan tengah duduk di lantai kereta. Umurnya seperti dua puluh empatanlah. Hati saya mulai iba. Seolah-olah kasihan sama dia. Saya langsung ambil hape dari kantong. Menuliskan beberapa kalimat namun tidak dikirimkan. “kasihan cewek di pinggir saya duduk di lantai.” Kata saya dalam SMS tersebut. Saya Cuma kasih lihat saja itu SMS pada Nora. Walau memang tidak perlu ngetik SMS segala. Berbisik pun bisa. Karena Nora kan satu jok dengan saya.

“ya udah suruh duduk saja si tetehnya. A Miko geser sedikit.” Kata Nora bijaksana. Saya langsung menyuruh duduk pada si teteh.

“teh, duduk….” Kata saya sambil menggeser.

“oh, gak apa apa nih.” Katanya. Senyum sedikit.

“oh, enggak dari pada di bawah.” Kata saya. Sedikit senyum.

Si teteh sudah duduk satu jok bersama kami. Tapi si teteh Cuma kebagian sedikit. Sekitar 30 persenanlah si teteh kebagian jok kami. Menyebabkan saya dan Nora rela menggeser ke kanan. Saya mencoba membuka percakapan. Sekedar basa-basi tapi bermanfaat. Oh, rupanya si teteh orang jawa. Saya tahu logatnya. Katanya dia mau pulang ke Jogja. Dia kerja di Bandung. Tapi saya lupa di mana.

Di depan saya, si ibu ternyata sudah tidur pulas. Suaminya entah kemana. Mungkin mencari area yang bebas rokok. Sebenarnya disini (di jok) juga bisa merokok, tapi di pinggir saya ada bayi. Kasihan, takut mengganggu mungkin. Itulah sebabnya si bapak mencari area lain. Sementara Nora terlihat tengah membuka cemilan yang dibawanya. Cemilan yang dikirim jauh-jauh dari Palembang ke Bandung. Satu paket, isinya kalau tidak salah: cokelat, madu, hand body dan yang lainnya. Saya yang membuka paketnya ketika dia menyuruh saya membukanya.

Tebak-tebakan.

Kereta api Kahuripan gerbong enam, mungkin beda dengan gerbong lainya. Soalnya, disini, terdapat orang-orang aneh. Salah satunya Ista. Dia memperhanangat suasana. Suaranya lebih keras dari orang biasanya. Bisa lebih dua kali lipat orang biasa. Maklum orang seberang emang suka kaya begitu.

Saya mendengar percakapan antara Ista bersama teman sejoknya yang berhadapan. Dari mulai Tanya sana Tanya sini sekedar basa basi sampai munculah sebuah tebak-tebakan dari mereka. Saya sempat terpingkal-pingkal mendengar obrolan mereka. Nora terlihat tertidur di pinggir saya.

“apa nama mesjid yang ada di tengah laut?” Tanya Ista.

“mesjid apa ya?” mereka berfikir. Saya juga berfikir apa nama mesjid itu.

“nyerah semuanya ya? Mesjid Al Mustahil.” Jawab Ista bangga.

Mulut saya melebar geli mendengar jawabannya. Walaupun terdengar garing. Tapi ya itu tadi, dengan logatnya yang unik, Ista bisa membuat hal biasa menjadi luar biasa. Orang-orang di dekatnya pun ikut terkekeh. Ista melanjutkan pertanyaan berikutnya. Ia merasa bangga dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak bisa dijawab oleh orang lain.

“apa bahasa Koreanya alat pembuangan?” pertanyaan kedua muncul.

Saya kembali lagi berfikir. Mereka juga berfikir. Di depan, si ibu semakin nyenyak saja tidur. Di pinggir saya, sepasang suami istri yang membawa anak tadi juga mulai tertidur. Kedua anaknya juga tertidur. Sang suami, yang lebih tua itu juga tertidur. Ia rela tidur di bawah jok beralaskan Koran. Koran yang di beli seharga seribu perak dari pedagang asongan yang sengaja menyediakan untuk orang yang tidak kebagian jok.

“nyerah ya semuanya… jawabannya LiangTai.” Jawab Ista lebih bangga.

Ketawa saya lebih keras. Ketawa mereka lebih keras walaupun saya tahu mereka tidak mengerti apa maksudnya itu LiangTai. Karena kebanyakan mereka itu, penumpang yang berhadan dengan Ista itu orang Jawa. Jadi mereka itu tidak tahu apa artinya.

LiangTai dalam bahasa Indonesia berarti pantat. Bahasa Sunda berarti bujur. LiangTai sendiri artinya, dalam bahasa Sunda adalah bahasa kasar. Namun Ista bisa membuat hal seperti itu menjadi lebih menarik dan lucu. Meskipun, sekali lagi, terdengar garing. Justru dari kegaringannya itu membuat saya terbahak bahak.

Di sebelah kiri saya, si teteh yang satu jok dengan saya juga ikut ketawa. Dan dia juga pasti tidak mengerti apa yang dikatakan Ista. Si teteh sedikit berkomentar tentang Ista. Nora di sebelah kanan saya, masih tidur. Mungkin ia capek. Jam sudah menunjukan sekitar pukul sebelas malam lebih beberapa menit. Kereta masih gerah dan panas.

“itu temannya si Mas lucu sekali ya.” Komentar si teteh pada saya.

“iya, dia emang kaya gitu.” Kata saya.

Bersambung… mau sholat dulu